Festival Mosintuwu 2025: Menghidupkan Mimpi Taman Bumi di Jantung Sulawesi

pojokPOSO | Di ujung Juli ketika kabut tipis mulai menyelimuti permukaan Danau Poso, sebuah festival yang lebih dari sekadar perayaan akan kembali digelar. Festival Mosintuwu 2025, yang berlangsung 31 Juli hingga 2 Agustus di Yosi, Kelurahan Pamona, bukan hanya tentang kegembiraan sesaat, melainkan tentang sebuah visi besar yang telah lama mengendap dalam hati masyarakat Poso: mewujudkan Taman Bumi atau Geopark yang menghormati warisan geologi jutaan tahun.
Sembilan tahun silam, ketika Festival Hasil Bumi pertama kali digelar pada 2016, tidak banyak yang menyangka bahwa acara sederhana itu akan berkembang menjadi gerakan kebudayaan yang menginspirasi. Perubahan nama dari Festival Hasil Bumi menjadi Festival Mosintuwu bukanlah sekadar rebranding, melainkan penegasan identitas dan filosofi yang lebih mendalam.
“Mosintuwu” dalam bahasa Pamona berarti “bersatu” atau “bersama-sama”. Kata ini merangkum semangat kolaborasi antara manusia dan alam, sebuah konsep yang telah mengakar dalam tradisi masyarakat Poso selama berabad-abad. Ketua Institut Mosintuwu, Lian Gogali, menjelaskan bahwa festival ini bukan sekadar acara tahunan, melainkan manifestasi dari kebudayaan Mosintuwu – kebudayaan bekerjasama dengan bersolidaritas pada manusia dan alam.
Transformasi ini mencerminkan perjalanan panjang masyarakat Poso dalam memahami kekayaan alam mereka. Jika lima festival sebelumnya berkonsentrasi pada penguatan desa dalam isu pangan, perempuan dan anak, adat tradisi, dan bencana, kini fokusnya meluas pada pemahaman yang lebih holistik tentang hubungan manusia dengan bumi tempat mereka berpijak.
Jejak Jutaan Tahun di Bawah Kaki
Tema “Taman Bumi Poso” yang diangkat tahun ini bukanlah pilihan yang arbitrary. Ia lahir dari perjalanan panjang penelitian dan ekspedisi yang dimulai sejak 2019, ketika Institut Mosintuwu berkolaborasi dengan para peneliti dan akademisi melakukan Ekspedisi Poso untuk menelusuri sejarah bumi yang mereka tinggali.
Apa yang ditemukan dalam ekspedisi itu sungguh menakjubkan. Bentuk permukaan bumi Poso menyimpan jejak-jejak peristiwa pembentukan bumi di Pulau Sulawesi jutaan tahun yang lalu. Situs-situs warisan geologi tidak hanya menjadi saksi bisu perjalanan waktu, tetapi juga membentuk pola flora dan fauna dalam beradaptasi, berevolusi, bahkan terkunci di wilayah yang kini diusulkan menjadi kawasan Geopark Poso.
Posisi strategis Kabupaten Poso yang berada tepat di tengah Pulau Sulawesi menjadikannya tidak sekadar wilayah administratif biasa. Secara geologis dan ekologis, kawasan ini memiliki peran vital bagi wilayah sekitarnya, bahkan bagi Indonesia dan dunia. Pembentukan bumi di wilayah ini secara tektonik telah mempengaruhi komponen ekosistem alam dan budaya yang mencakup aspek geologi, biologi, dan budaya.
Melibatkan Generasi Muda: Investasi untuk Masa Depan
Keunikan Festival Mosintuwu 2025 terletak pada pendekatannya yang melibatkan secara masif generasi muda. Jika festival-festival sebelumnya lebih fokus pada komunitas dewasa, kali ini sekolah-sekolah diajak untuk bersama-sama mengenalkan murid-muridnya pada lingkungan sekitar.
Hingga dua hari sebelum pelaksanaan, tercatat 20 SD, 8 SMP, dan 8 SMA dari berbagai kecamatan di sekitar Danau Poso telah mendaftarkan diri. Mereka berasal dari Pamona Puselemba, Pamona Barat, Pamona Selatan, Pamona Utara, Pamona Timur, dan Pamona Tenggara.
Pelibatan pelajar ini bukan sekadar formalitas. Mereka akan terlibat dalam berbagai kegiatan yang dirancang khusus: cerdas cermat tentang kekayaan alam Poso, pembuatan majalah dinding, penulisan opini tentang lingkungan, pidato, dan dongeng. Kegiatan-kegiatan ini dirancang untuk menumbuhkan kesadaran sejak dini tentang pentingnya menjaga warisan alam dan budaya.
Dalam karnaval, misalnya, para pelajar akan menjadi peserta utama yang mengekspresikan keragaman hayati dan tradisi budaya dalam berbagai bentuk kreatif. Mereka akan memamerkan karya-karya mereka di sepanjang jalan dari Taman Kota Tentena menuju lokasi festival di Yosi, menciptakan parade kebudayaan yang memukau.
Museum Mini: Membaca Sejarah Bumi dalam Genggaman
Salah satu daya tarik utama Festival Mosintuwu 2025 adalah kehadiran berbagai museum mini yang menyajikan pengetahuan dalam kemasan yang menarik dan mudah dipahami.
Mini Museum Geologi menjadi jendela untuk memahami proses pembentukan bumi. Di sini, pengunjung dapat melihat sampel batu-batuan yang dikumpulkan dari 24 titik situs warisan geologi. Setiap sampel menceritakan kisah berbeda tentang bagaimana bumi terbentuk, bagaimana Pulau Sulawesi mengambil bentuknya yang unik, dan bagaimana serta kapan Danau Poso terbentuk.
Yang membuat museum ini istimewa adalah kolaborasi antara Tim Geologi Jelajah Geopark dengan para geolog dari Universitas Tadulako. Mereka tidak hanya menyajikan koleksi statis, tetapi juga animasi yang menggambarkan proses geologi terbentuknya Pulau Sulawesi dan Danau Poso. Pengunjung seolah diajak melakukan perjalanan waktu, menyaksikan bagaimana jutaan tahun lalu, wilayah ini terbentuk melalui proses-proses geologis yang kompleks.
Mini Museum Biota Akuatik hadir dengan misi yang tidak kalah penting. Danau Poso menyimpan keanekaragaman biota endemik yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Museum ini tidak hanya memperkenalkan biota-biota unik tersebut, tetapi juga mendorong kesadaran masyarakat, terutama dunia pendidikan, untuk menjadikan biota endemik Danau Poso sebagai bagian dari kurikulum pendidikan.
Galeri Kupu-Kupu menawarkan pengalaman yang berbeda lagi. Di sini, pengunjung dapat melihat aneka ragam kupu-kupu endemik yang hanya ada di wilayah ini. Yang menarik, galeri ini tidak hanya menampilkan kupu-kupu dewasa yang indah, tetapi juga proses metamorfosisnya, dari ulat hingga berubah menjadi kupu-kupu yang memukau. Pengunjung dapat memahami peran penting kupu-kupu bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup dalam ekosistem.
Tradisi yang Hidup: Modulu-dulu, Molaolita, dan Modero
Festival Mosintuwu tidak akan lengkap tanpa menghidupkan kembali tradisi-tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Poso. Modulu-dulu, tradisi makan bersama yang berasal dari Lembah Bada, akan dipraktikkan dalam festival ini. Dalam tradisi ini, warga desa membawa makanan dari rumah masing-masing ke tempat pertemuan atau baruga desa untuk dimakan bersama.
Lebih dari sekadar acara makan bersama, Modulu-dulu mengandung filosofi kebersamaan dan saling berbagi. Dalam konteks festival yang mengusung tema Taman Bumi, tradisi ini menjadi simbol bagaimana manusia dapat hidup harmonis dengan alam dan sesama.
Molaolita, seni bertutur tradisional masyarakat Poso, akan menghadirkan dongeng-dongeng dalam lantunan bahasa Pamona. Para pendongeng akan menceritakan kisah-kisah, legenda, dan cerita rakyat yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai kearifan lokal tentang hubungan manusia dengan alam.
Tarian Modero akan mempersembahkan pesan-pesan persahabatan dalam syair-syair yang indah. Sebagai warisan tarian leluhur, Modero memiliki keunikan dalam gerak melingkar dengan peserta saling bergandengan tangan. Gerakan dua kali ke kanan dan satu kali ke kiri diiringi gong dan gendang, disertai nyanyian bersama dalam lingkaran dan lantunan kayori yang saling berbalasan.
Seni Visual: Melukis Ingatan Atas Lanskap
Di sekitar lokasi festival, pengunjung akan menemukan karya-karya visual yang penuh makna dari pelukis Lampurio dan beberapa seniman lain yang berkolaborasi. Karya-karya ini lahir dari pengalaman batin para seniman dalam mengamati dan meresapi lanskap alam Poso.
Setiap bentuk, warna, dan garis dalam karya mereka adalah ingatan visual atas jejak-jejak yang dimaknai pada lanskap alam yang menyimpan pesona, kekayaan budaya, sejarah, dan legenda. Karya-karya ini tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi, tetapi juga sebagai media untuk menyampaikan pesan tentang kearifan dan keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan sang pencipta.
Taman Baca: Jendela Menuju Imajinasi
Bagi pengunjung yang ingin merenung atau mencari inspirasi, Taman Baca menawarkan ruang yang tenang dengan koleksi puluhan buku untuk anak dan remaja. Buku-buku ini dipilih khusus untuk membawa pembaca menelusuri konteks ruang dan waktu, dari masa lalu hingga masa depan.
Dalam suasana yang damai di tepi Danau Poso, pembaca dapat bertemu dengan ragam karakter unik dalam serangkaian cerita yang mengeksplorasi imajinasi tentang siapa dan bagaimana kita dalam masa yang sedang bergulir. Taman Baca ini menjadi ruang kontemplasi yang memungkinkan pengunjung untuk merefleksikan hubungan mereka dengan alam dan budaya.
Workshop: Mengasah Kreativitas dan Ekspresi
Festival Mosintuwu 2025 juga menghadirkan serangkaian workshop yang dirancang untuk mengembangkan kreativitas pengunjung. Workshop melukis memungkinkan peserta untuk mengekspresikan keindahan alam Poso dalam karya visual. Workshop animasi mengajarkan teknik-teknik modern untuk menceritakan kisah-kisah tradisional.
Workshop mendongeng memberikan keterampilan kepada peserta untuk menjadi penerus tradisi Molaolita. Workshop musik tradisi memungkinkan generasi muda untuk belajar memainkan instrumen-instrumen tradisional dan memahami makna lagu-lagu warisan leluhur.
Workshop fotografi mengajarkan cara menangkap keindahan alam dan budaya Poso melalui lensa kamera, sementara workshop sablon memberikan keterampilan praktis yang dapat dikembangkan menjadi usaha kreatif.
Mimpi Besar: Dari Festival Menuju Geopark
Festival Mosintuwu 2025 dengan tema Taman Bumi sesungguhnya adalah bagian dari mimpi yang lebih besar. Usulan agar Kabupaten Poso menjadi kawasan Geopark bukanlah sekadar ambisi, melainkan visi yang didasarkan pada pemahaman mendalam tentang kekayaan yang dimiliki wilayah ini.
Geopark atau Taman Bumi adalah wilayah geografis yang memiliki situs warisan geologi dan bentang alam yang bernilai, terkait aspek warisan geologi, keragaman geologi, keanekaragaman hayati, dan keragaman budaya. Yang penting, Geopark dikelola untuk keperluan konservasi, edukasi, dan pembangunan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan.
Konsep ini sejalan dengan filosofi Mosintuwu yang mengutamakan keharmonisan antara manusia dan alam. Melalui festival ini, masyarakat Poso tidak hanya merayakan kekayaan yang mereka miliki, tetapi juga membangun kesadaran kolektif untuk menjaganya.
Warisan untuk Generasi Mendatang
Ketika matahari terbenam di ufuk barat Danau Poso pada 2 Agustus nanti, Festival Mosintuwu 2025 akan berakhir. Namun, semangat yang dihidupkan dalam tiga hari itu diharapkan akan terus bergema dalam hati setiap pengunjung.
Festival ini bukan hanya tentang merayakan masa lalu, tetapi juga tentang mempersiapkan masa depan. Ketika anak-anak sekolah yang berpartisipasi dalam festival ini dewasa kelak, mereka akan menjadi generasi yang memahami betul kekayaan alam dan budaya yang mereka warisi.
Mereka akan menjadi penjaga Taman Bumi Poso, memastikan bahwa jejak-jejak jutaan tahun yang tersimpan dalam batuan, keanekaragaman hayati yang unik, dan tradisi budaya yang arif akan terus lestari untuk generasi-generasi mendatang.
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan modern yang seringkali mengabaikan kelestarian alam dan budaya, Festival Mosintuwu 2025 hadir sebagai pengingat bahwa ada cara lain untuk berkembang – cara yang menghormati warisan leluhur sambil membangun masa depan yang berkelanjutan.
Yosi, Kelurahan Pamona, dalam tiga hari ini akan menjadi saksi bagaimana sebuah komunitas kecil di jantung Sulawesi menunjukkan kepada dunia bahwa mimpi besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Dan Festival Mosintuwu adalah salah satu langkah itu. (bmz)