Dari Rumah ke Rumah: Sinergi TNI-Polri Membangun Benteng Anti-Radikalisme di Poso Pesisir

TNI dan Polri bersama warga pada kegiatan sambang di Desa Tabalu, Poso, Selasa (8/7/2025). (Foto: Huams Satgas Madago Raya)
TNI dan Polri bersama warga pada kegiatan sambang di Desa Tabalu, Poso, Selasa (8/7/2025). (Foto: Huams Satgas Madago Raya)

Melalui pendekatan humanis dan silaturahmi langsung, personel keamanan berupaya mencegah penyebaran paham radikal dengan membangun kedekatan emosional bersama warga


Sore itu, suasana di kediaman Irwan, warga Kelurahan Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir, terasa hangat dan akrab. Bukan karena cuaca yang terik, melainkan karena kehadiran tiga sosok berseragam yang duduk santai di ruang tamu sederhana itu. Brigpol Sugianto, Serda Wahyudin, dan IPDA Ramlin tidak datang sebagai “penegak hukum” yang kaku, tetapi sebagai sahabat yang peduli akan keamanan lingkungan.

“Silakan duduk, Pak. Mau minum teh atau kopi?” tanya Irwan sambil menyambut ketiga tamu istimewa itu. Inilah wajah lain dari upaya pencegahan radikalisme di Indonesia—bukan dengan pendekatan keras atau represif, melainkan dengan sentuhan manusiawi yang menyentuh hati.

Sentuhan Humanis dalam Operasi Madago Raya

Kegiatan sambang yang dilaksanakan pada Selasa (8/7/2025) ini merupakan bagian dari strategi preemtif Operasi Madago Raya yang telah mengalami evolusi signifikan. Jika dahulu operasi keamanan identik dengan patroli bersenjata dan penjagaan ketat, kini pendekatan berubah menjadi lebih humanis dan dekat dengan masyarakat.

IPDA Ramlin, yang menjabat sebagai Kanit Binmas Polsek Poso Pesisir sekaligus anggota Satgas II Preemtif Operasi Madago Raya, menjelaskan filosofi di balik pendekatan ini. “Radikalisme tidak bisa dilawan hanya dengan kekuatan fisik. Yang dibutuhkan adalah pendekatan hati ke hati, membangun kepercayaan, dan memperkuat ikatan emosional dengan masyarakat.”

Dalam perbincangan yang berlangsung santai itu, tidak terasa bahwa sebenarnya sedang berlangsung misi penting: membangun benteng pertahanan terhadap infiltrasi ideologi radikal yang kerap menyusup melalui berbagai celah kehidupan masyarakat.

Sinergi yang Lahir dari Pengalaman Pahit

Kabupaten Poso memiliki sejarah kelam terkait konflik komunal yang pernah melanda daerah ini. Pengalaman pahit tersebut menjadi pelajaran berharga bagi aparat keamanan untuk tidak lagi mengandalkan pendekatan konvensional yang justru bisa memicu ketegangan.

Brigpol Sugianto, yang bertugas sebagai Bhabinkamtibmas Tabalu, menceritakan bagaimana sinergi TNI-Polri dalam konteks ini bukan sekadar koordinasi operasional, tetapi lebih pada pemahaman bersama tentang pentingnya membangun kedekatan dengan masyarakat.

“Saya dan Bang Wahyudin,” kata Brigpol Sugianto sambil menunjuk ke arah Serda Wahyudin, “sudah seperti kakak-adik di sini. Kami tidak melihat diri sebagai TNI atau Polri, tapi sebagai abdi masyarakat yang punya misi sama: menjaga keamanan dan kerukunan.”

Serda Wahyudin, yang bertugas sebagai Babinsa setempat, menambahkan bahwa kunci keberhasilan pencegahan radikalisme terletak pada kemampuan membangun trust dengan warga. “Kalau warga sudah percaya sama kita, mereka akan terbuka. Mereka akan cerita kalau ada hal-hal yang janggal di lingkungan mereka.”

Menghadapi Ancaman yang Tak Kasat Mata

Berbeda dengan ancaman konvensional yang bisa dilihat secara fisik, radikalisme merupakan ancaman yang bersifat ideologis dan seringkali tidak kasat mata. Paham radikal bisa menyusup melalui berbagai saluran—media sosial, kajian keagamaan, hingga pergaulan sehari-hari.

“Radikalisme itu seperti virus,” ungkap IPDA Ramlin menggunakan analogi yang mudah dipahami. “Dia bisa menyebar tanpa kita sadari. Makanya, kita harus punya ‘antibodi’ yang kuat di masyarakat. Antibodi itu ya masyarakat yang sadar dan peduli terhadap lingkungannya.”

Dalam konteks Poso, ancaman radikalisme tidak hanya datang dari kelompok tertentu, tetapi juga dari potensi kebangkitan konflik lama yang bisa dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk memperluas pengaruh mereka.

Irwan, sebagai warga yang merasakan langsung dinamika kehidupan di Poso, mengakui bahwa kehadiran aparat keamanan dalam bentuk sambang seperti ini memberikan rasa aman yang berbeda. “Dulu kan image TNI-Polri itu menakutkan. Tapi sekarang, kami merasa mereka adalah bagian dari keluarga besar masyarakat.”

Strategi Pencegahan dari Akar Rumput

Kegiatan sambang yang tampak sederhana ini sebenarnya merupakan implementasi dari strategi pencegahan radikalisme yang komprehensif. Melalui pendekatan grass-root level, aparat keamanan berupaya membangun jaringan informasi dan deteksi dini yang melibatkan masyarakat sebagai garda terdepan.

“Kami tidak mungkin ada di mana-mana,” jelas Brigpol Sugianto. “Tapi kalau setiap warga menjadi mata dan telinga kami, maka coverage kita akan jauh lebih luas dan efektif.”

Strategi ini terbukti efektif karena masyarakat yang sudah memiliki kedekatan emosional dengan aparat keamanan akan lebih mudah melaporkan hal-hal yang mencurigakan tanpa rasa takut atau khawatir.

Membangun Kerukunan di Tengah Keberagaman

Poso adalah daerah yang majemuk dengan berbagai suku, agama, dan budaya. Keberagaman ini di satu sisi menjadi kekayaan, tetapi di sisi lain juga menjadi potensi konflik jika tidak dikelola dengan baik.

“Keberagaman adalah anugerah, bukan ancaman,” tegas IPDA Ramlin. “Tugas kita adalah memastikan bahwa keberagaman ini menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan memecah belah.”

Dalam perbincangan dengan Irwan, ketiga aparat keamanan itu tidak hanya membahas soal keamanan, tetapi juga tentang bagaimana menjaga toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Mereka berbagi cerita tentang keberhasilan-keberhasilan kecil dalam membangun jembatan komunikasi antar kelompok masyarakat.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Meskipun pendekatan humanis ini menunjukkan hasil yang positif, tantangan yang dihadapi tidak sederhana. Radikalisme terus berevolusi, menggunakan teknologi modern dan metode yang semakin canggih untuk menyebarkan ideologi mereka.

“Kita harus selalu update,” kata Serda Wahyudin. “Cara mereka menyebarkan paham radikal terus berubah, jadi kita juga harus adaptif. Yang penting, fondasi kepercayaan dengan masyarakat harus terus diperkuat.”

Kegiatan sambang seperti ini direncanakan akan terus dilakukan secara rutin, tidak hanya sebagai respons terhadap ancaman, tetapi sebagai upaya preventif yang berkelanjutan. Setiap kunjungan adalah investasi untuk masa depan yang lebih aman dan damai.

Refleksi dari Ruang Tamu Sederhana

Saat sore mulai beranjak malam, perbincangan di ruang tamu sederhana Irwan pun berakhir. Ketiga aparat keamanan itu berpamitan dengan hangat, meninggalkan kesan mendalam bagi sang tuan rumah.

“Terima kasih sudah mau datang dan berbagi. Semoga sinergi seperti ini terus berjalan,” kata Irwan sambil mengantar tamu-tamunya hingga ke halaman.

Momen sederhana ini menjadi refleksi tentang bagaimana keamanan nasional tidak selalu tentang senjata dan strategi militer yang kompleks. Terkadang, yang dibutuhkan adalah kesederhanaan dalam berinteraksi, ketulusan dalam mendengarkan, dan komitmen untuk hadir di tengah masyarakat.

Dalam perjalanan pulang, ketiga petugas itu tidak hanya membawa laporan tentang situasi keamanan di Kelurahan Tabalu, tetapi juga pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika masyarakat yang mereka layani. Mereka tahu bahwa perjuangan melawan radikalisme adalah marathon, bukan sprint—dan kunci kemenangan terletak pada kemampuan membangun hubungan yang authentic dengan masyarakat.

Sinergi TNI-Polri dalam pencegahan radikalisme di Poso mungkin tidak akan pernah masuk headline besar media massa. Namun, dalam keseharian yang sederhana ini, sedang terjalin fondasi yang kuat untuk Indonesia yang lebih aman, toleran, dan damai. Satu rumah, satu keluarga, satu hati pada satu waktu. (bmz)

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *